Rabu, 27 April 2011

Kisahku

Oleh : Trias@Calm
Rasaku Sahabatku
Kau takan pernah mengerti isi hatinya. Bagaimana perasaannya ketika ia mengalaminya dan segala rasa gundah dan bersalah yang ada dalam hatinya. Tapi aku tahu dan paham perasaannya.
Jika kau ingin membaca tulisanku, perhatikanlah baik-baik bahwa sahabatmu adalah seseorang yang luarbiasa dan takkan pernah ada yang bisa menggantikannya. Ingatlah selalu arti sahabat yang sesungguhnya. Bagi yang tak punya sahabat, aku rasa, kau haruslah memahami makna teman di sekitarmu.
Sebenarnya aku adalah orang lain. Aku bukan tokoh utama. Aku hanyalah orang di luar mereka. Aku adalah pendengar salah satu dari mereka, pendengar bagi sahabatku. Tapi dalam tulisanku, aku adalah tokoh utama.
Aku ingin sekali bicara, bercerita, berekspresi secara gamblang. Tapi yang aku bisa hanya menuliskan. Menuliskan untuk menggoreskan isi hatiku. Menuliskan hal yang tak pernah aku duga. Dan aku berharap tulisanku beguna bagi semua yang membaca.
Sosok sahabat. Aku pernah merasa, sahabat adalah segalanya. Di saat kita membutuhkan sesuatu, sahabat selalu ada. Dan yang paling sensitif untuk kita adalah disaat kita merasakan sesuatu, sahabat bisa merasakannya.
Suatu sore, sahabatku datang ke rumahku. Sudah lama ia tak ke rumah. Kami ngobrol banyak.
Sebenarnya aku merindukan momen ini. Momen ketika ia serius bercerita dari dalam hatinya. Karena aku memang benar-benar ingin menjadi sahabat yang selalu mendengarkannya dan dibutuhkan olehnya. Aku selalu merindukan momen seperti ini hadir dalam hidupku, merasa seseorang membutuhkanku dan merasa berguna hidup di dunia.
Dari dalam hatinya, ia bercerita, terus bercerita.
Sahabatku merasa gundah.
Mata sahabatku berkaca-kaca di hadapanku. Aku tahu apa yang di rasakannya. Ia merasa bersalah. Tak mempertimbangkan kembali apa yang harus dilakukannya waktu itu.
Aku paham apa yang di rasakannya, merasa sangat bersalah tak melihat kondisi kakaknya terlebih dahulu hingga kakaknya tak ingin bertemu dengan siapapun.
Aku paham apa yang dirasakannya. Aku ingin sekali memeluknya dikala itu. Membuatnya merasa lebih tenang.
Dapat dibayangkan bagaimana jika kita merasa sangat bersalah dan ingin mengulangi peristiwa yang lalu dan memperbaikinya. Dapatlah dibayangkan bagaimana rasanya jika kakak kita sendiri tak ingin bertemu dengan kita. Merasa disalahkan oleh semua orang.
Sayangnya, kini, aku bukanlah orang pertama yang tahu perasaan sahabatku. Ada orang lain selain aku.
Sebenarnya aku berharap aku dan sahabatku bisa seperti dulu lagi. Selalu bersama kemanapun dan kapanpun dan selalu berbagi dan tertawa sepuasnya. Kau takkan pernah tahu perasaanku. Bahwa aku ingin kami kembali ke masa dulu. Masa yang indah ketika kami selalu bersama dan berbagi perasaan, menjadi orang pertama yang paling mengetahui hati masing-masing.
Kini kami dalam kesibukan yang berbeda. Kami terpisah jauh secara fisik.
Yang aku harapkan saat ini, satu-satunya harapan bagi kami adalah tidak melupakan satu sama lain. Walaupun tidak menjadi orang pertama dan yang paling mengetahui masing-masing. Tapi menurutku itu cukup. Tidak melupakan satu sama lain.
Aku sudah paham dan tahu arti sebuah persahabatan. Aku tak ingin kehilangan makna itu. Makna persahabatan yang hanya aku rasakan pada sahabatku, bukan pada yang lain.
Dan aku kini sangat merasa kehilangan sahabat ketika aku melihat di sampingku bukanlah sahabat sejatiku. Sangat sulitlah merasa seperti biasa jika sudah merasa kehilangan.
Dan ketika merasa kehilangan, tetes air mata bukanlah sebuah simbol. Tetapi sebuah makna yang takkan pernah ada yang bisa menemukan titik mulai dan berhentinya.
Pernah suatu malam aku berkata dalam hati, “Tuhan, aku merindukan sahabatku. Bantulah aku dalam mengatasi diriku karena aku selalu merasa kehilangan di saat-saat sendiriku. Benar-benar merasa kehilangan. Dan aku tak kuasa menahan air mataku.”
Satu kalimat terakhirku, kau akan memahami ceritaku dan benar-benar menangis jika kau sepertiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar